SAMARINDA – Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menegaskan bahwa tingginya angka pelaporan tidak selalu mencerminkan situasi yang memburuk. Sebaliknya, ia melihat hal itu sebagai tanda meningkatnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan tindak kekerasan.
Kota Samarinda mencatat angka kekerasan terhadap perempuan dan anak tertinggi di Kalimantan Timur. Hingga Maret 2025, sedikitnya 50 kasus telah dilaporkan, membuat isu ini menjadi perhatian serius bagi DPRD Samarinda
“Jumlah laporan yang tinggi bukan sepenuhnya kabar buruk. Ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai berani berbicara. Namun, keberanian itu harus dibarengi dengan respons yang nyata dan penanganan kasus yang tegas,” ujarnya, Senin (26/5/2025).
Sri Puji mengingatkan, setiap laporan harus ditindaklanjuti secara serius, bukan sekadar menjadi angka statistik. Ia menekankan bahwa pembiaran atas laporan yang masuk bisa berujung pada permasalahan yang lebih kompleks di masa mendatang.
Selain itu, ia mendorong pemerintah untuk tidak hanya fokus pada penguatan sistem administratif, tetapi juga memastikan adanya perlindungan nyata bagi korban.
Sri Puji berujar, Edukasi kepada masyarakat dinilai menjadi salah satu kunci utama untuk mengoptimalkan efektivitas sistem perlindungan yang telah tersedia.
“Regulasi dan sistem sudah ada, aparat juga telah bergerak. Tapi bila masyarakat tidak memahami hak-hak mereka, maka perlindungan itu tidak akan berjalan optimal,” katanya.
Politisi dari Partai Demokrat ini juga menyoroti pentingnya pendekatan menyeluruh dalam menangani kasus kekerasan, mulai dari perbaikan regulasi, pelibatan aktif masyarakat, hingga penguatan lembaga-lembaga pendukung.
“Pemerintah harus melihat persoalan ini secara komprehensif. Keterlibatan masyarakat dan optimalisasi fungsi lembaga perlindungan sangat krusial dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan,” tegasnya.
Sri Puji turut mengkritisi kondisi rumah aman yang disediakan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak. Menurutnya, meski fasilitas tersebut sudah ada, kualitasnya masih perlu ditingkatkan agar benar-benar mampu memberikan perlindungan maksimal.
“Secara fasilitas sudah ada perbaikan, tapi belum ideal. Rumah aman seharusnya berada di lokasi yang steril, memiliki pengamanan ketat, dan diawasi secara profesional seperti lembaga kesehatan,” tuturnya.
Ia menambahkan, lokasi rumah aman sebaiknya juga memperhatikan kedekatan dengan layanan publik penting seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial. Hal ini penting agar proses pemulihan korban bisa berjalan secara holistik.
“Pemulihan korban bukan hanya soal tempat aman, tapi juga tentang akses terhadap kebutuhan dasar dan pengembangan diri jangka panjang,” pungkasnya. (mr/adv)