Lensaborneo.com, Samarinda – Kota Samarinda tengah menjalani transformasi besar-besaran dalam sistem pengelolaan sampah. Wali Kota Andi Harun tidak sekadar bicara soal tumpukan sampah, melainkan soal arah kebijakan yang menyentuh akar persoalan: dari perubahan infrastruktur hingga reformasi pola pikir warga terhadap limbah rumah tangga.
Menurut Andi Harun, pola lama yang masih digunakan banyak daerah, seperti open dumping, tak lagi layak dipertahankan. Metode ini bukan hanya usang, tapi juga meninggalkan jejak lingkungan yang membahayakan, seperti pencemaran dari air lindi dan bau menyengat di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
“Pengelolaan sampah tak bisa lagi bersandar pada kebiasaan lama. Kita harus berpikir jangka panjang, berbasis lingkungan dan efisiensi,” tegas Andi Harun, Senin (23/6/2025).
Langkah pertama yang dilakukan Pemkot adalah mengubah pendekatan penanganan sampah dari sekadar kumpul-angkut-buang, menjadi sistem terintegrasi yang lebih modern. Salah satunya lewat pengadaan 10 unit insinerator, mesin pembakar sampah berkapasitas 10 ton dalam 4 jam, yang akan disebar ke seluruh kecamatan. Pengadaan ini saat ini tengah dalam proses lelang.
Tak berhenti di situ, modernisasi TPA Sambutan juga dilakukan secara menyeluruh. Pembangunan instalasi pengolahan air lindi menjadi salah satu prioritas, guna mengatasi limbah cair berbahaya yang selama ini mencemari lingkungan sekitar. Penataan zonasi, sistem pengolahan mekanis, hingga pengawasan aktivitas pembuangan turut diperketat.
Namun bagi Andi Harun, perubahan besar tidak akan berjalan jika hanya bertumpu pada pembangunan fisik. Karena itu, sistem pengelolaan sampah di tingkat kelurahan juga dibenahi melalui pendekatan TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST).
Melalui skema ini, masyarakat didorong untuk memilah sampah sejak dari rumah. Sampah organik, plastik, hingga residu yang tak bisa didaur ulang akan diproses secara berbeda. Hanya residu yang benar-benar tidak bisa dimanfaatkan yang akan masuk ke TPA.
“Dengan sistem ini, beban TPA bisa ditekan secara signifikan. Kita sedang menyiapkan sistem yang tak hanya menyelesaikan sampah hari ini, tapi juga membangun kesadaran warga untuk 10–20 tahun ke depan,” ujarnya.
Kondisi ini kontras dengan sejumlah wilayah di Kalimantan Timur yang masih bergantung pada metode open dumping, seperti Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Berau. Padahal, bahaya dari sistem pembuangan terbuka tidak hanya mencemari tanah dan air, tapi juga menjadi bom waktu bagi krisis lingkungan.
Dengan terobosan yang dijalankan, Samarinda berpotensi menjadi model baru pengelolaan sampah di Benua Etam. Namun keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada pemerintah, melainkan partisipasi aktif warga dalam memilah, mengelola, dan mengurangi sampah sejak dari rumah.
“Kalau tidak dimulai dari sekarang dan dari kesadaran masyarakat, maka seberapa pun besar investasi yang kita lakukan, hasilnya akan tetap stagnan,” pungkas Andi Harun. (Liz/adv)