Lensaborneo.com, Samarinda – Sungai Karang Mumus (SKM), aliran air utama yang selama ini menjadi denyut nadi Kota Samarinda, kini menjelma menjadi wajah muram dari kegagalan kolektif masyarakat dan pemerintah dalam menjaga lingkungan hidup.
Bukan karena debit airnya yang menyusut, tapi karena bertahun-tahun dijadikan tempat pembuangan akhir yang sah secara sosial, tapi ilegal secara hukum.
Dalam kegiatan pembersihan yang digelar pekan ini, tumpukan sampah plastik menjadi pemandangan umum yang menyesakkan. Ironisnya, di tengah gempuran banjir yang semakin sering melanda Samarinda, masih saja banyak warga yang membuang sampah ke sungai seolah tidak pernah belajar dari bencana yang datang silih berganti.
Catatan bencana mencengangkan. Pada 26 Januari 2025, hujan ekstrem mengguyur kota dengan intensitas 140 mm dalam sehari. Bendungan Lempake meluap dengan tinggi muka air mencapai 8,15 meter, mendorong debit 70 meter kubik per detik langsung ke Sungai Karang Mumus. Ribuan warga terdampak, ratusan rumah terendam, namun pola hidup masyarakat tak berubah.
Banjir serupa terulang pada 11–12 Mei 2025. Kawasan Sempaja, Mugirejo, dan Loa Janan Ilir kembali dikepung air hingga setinggi 70 cm. Aktivitas warga lumpuh. Namun akar masalahnya bukan hanya pada cuaca ekstrem, melainkan pada kebiasaan ekstrem, membuang sampah sembarangan, yang memperparah sedimentasi dan menyumbat aliran air.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, tak menutup mata. Ia menegaskan, pemerintah tak bisa bekerja sendiri.
“Samarinda tidak akan bersih jika tugas kebersihan hanya dibebankan kepada pemerintah. Tapi akan cepat bersih jika kita bisa bekerja sama,” ujarnya.
Namun pernyataan itu juga membuka ironi lain, terkIt kesadaran kolektif yang masih begitu rendah meski dampaknya nyata setiap tahun.
“Sungai yang seharusnya menjadi sumber kehidupan, masih dianggap sebagai tempat sampah oleh sebagian warga,” bebernya.
Gerakan bersih-bersih sungai, betapapun pentingnya, tak cukup jika tidak dibarengi revolusi budaya lingkungan. Dibutuhkan pendekatan yang lebih struktural dan edukatif, mulai dari sekolah, rumah ibadah, hingga forum RT, agar rasa memiliki terhadap lingkungan tumbuh kembali.
SKM bukan hanya soal air. Ini adalah soal martabat kota. Bila wajah sungai masih dipenuhi plastik, maka citra Samarinda sebagai kota layak huni hanya akan tinggal jargon. Dan bila warga masih belum sadar bahwa bencana bukan hanya dari langit, tetapi juga dari tangan-tangan mereka sendiri, maka krisis ini akan terus berulang.
“Siapa lagi yang kita tunggu untuk menjaga lingkungan, kalau bukan kita sendiri?” tutup Andi Harun.(Liz/adv)