Penulis : ony
Editor : Redaksi
Samarinda,LensaBorneo.com Tata ritual umat Tiong hoa yang sudah berlangsung selama ratusan tahun itu sudah tidak berada di tempatnya, yang di lakukan oleh ketua klenteng Thien Ie Kong, dengan alasan peniadaan tata ritual tersebut di lakukan demi keamanan dan resiko kebarakan, hal ini di ungkap oleh sala satu pengurus Klenteng Efendi utomo, kepada sejumlah wartawan di kantor PWI ( Persatuan wartawan Indonesia ), Kaltim pada Selasa ( 21/07/2020 ).
Kegelisahan warga Tionghoa kian memuncak seiring dengan peniadaan tata ritual persembahyangan yang di lakukan oleh ketua klenteng, keinginan mereka agar tata ritual di kembalikan seperti semula, belum di tanggapi oleh jajaran pengurus klenteng. Yayasan Dharma Bhakti untuk turun tangan dan bertindak tegas agar ritual persembahyangan yang sudah berlansgung sejak 115 tahun itu, di kembalikan seperti sedia kala
Di Katakan Efendy, mengapa umat mendesak pihak yayasan karena pihak yayasan ikut bertanggung jawab akan kegiatan yang berlangsung di klenteng.
“ Pihak yayasan tidak bisa berpangku tangan saja , terhadap situasi yang terjadi di klenteng TIK, apalagi berkaitan dengan kebutuhan dan kegelisahan umat yang berhubungan dengan peribadatan yang sudah berlangsung ratusan tahun,” tegas efendy.
Peniadaan yang di maksus yaitu, atribut atau perlatan peribadatan yang biasa di temui di masing –masing altar singgasana para dewa di dalam klenteng yang berdiri sejak tahun 1905 itu, justru berubah dan bahkan di hilangkan, sehingga berdampak terhadap suasana kebatinan yang di rasakan ketika berdoa di depan dewa yang sudah tidak di lengkapi sejumlah atribut seperti biasanya.
Menurut Efendy, kelenteng yang beralamat di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Pelabuhan, Samarinda Kota, itu terdapat tujuh Dewa yang memiliki kelebihan masing-masing. Salah satunya merupakan Dewa tuan rumah. Setiap Dewa biasanya dilengkapi sejumlah atribut. Berupa tempat dupa, tempat lilin, minyak serta tempat untuk menaruh sesembahan dari umat.
Namun sejak Juni 2020, semuanya berubah. Para Dewa sudah tidak lagi dilengkapi sejumlah atribut pelengkap seperti biasanya. “Altar persembahyangan dan perlengkapan yang biasa ada di dekat Dewa, kini sudah tidak ada lagi, “kata Efendy.
Menurut dia, tata ritual yang selama ini dilakukan oleh para leluhur, memegang teguh pada ajaran Tri Dharma dan berpedoman pada Kitab Tao. Termasuk yang dilakukan oleh umat yang sembahyang di Kelenteng TIK Samarindadan itu sudah berlangsung sejak 115 tahun lalu.
Dari informasi yang diperoleh, peniadaan tata ritual tersebut dilakukan dengan alasan keamanan dan mengurangi risiko kebakaran. Menurut Efendy, alasan tersebut tidak mendasar. Karena selama ini, tidak pernah terjadi apa-apa di kelenteng tersebut walaupun banyak dupa dan lilin yang mengelilingi di sekitar para Dewa. Risiko banyak asap dupa dan bahaya kebakaran yang mungkin dijadikan alasan tersebut, katanya sangat tidak tepat.
Demikian juga halnya dengan prosesi kesurupan yang dijadikan dasar guna meminta restu dewa untuk melakukan perubahan ritual persembahyangan di kelenteng yang telah berusia 115 tahun itu, juga dianggap tidak sepatutnya dilakukan.
“Di dalam kelenteng, pasti banyak dupa dan asap. Selama ratusan tahun tidak pernah terjadi apa-apa. Juga tidak ada keluhan. Sehingga perubahan yang terjadi terkesan sepihak tanpa melibatkan sejumlah pihak yang berkompeten, termasuk prosesi kerasukan yang dilakukan juga kami nilai sangat tidak mendasar,” tegasnya.
Peniadaan itu melanggar etik beribadah. Juga mengganggu religi serta kebatinan umat ketika memanjatkan doa di hadapan para Dewa yang tidak dilengkapi sejumlah atribut lagi. Apalagi setiap aturan dan perlengkapan para Dewa di altar memiliki pertimbangan Feng Shui yang sudah begitu dipercaya. Feng Shui adalah ilmu topografi kuno dari China yang memercayai bagaimana manusia, surge, dan bumi dapat hidup dalam harmoni untuk membantu memperbaiki kehidupan.
Sampai berita ini naikan, Ketua Klenteng TIK Untung Brawijaya, tidak bisa di hubungi lewat jaringan teleponya. Sementara ada beberapa warga Tionghoa yang tinggal di dekat klenteng, yang tidak mau namanya di tulis, ketika di konfirmasi media ini, mengatakan bahwa sudah ada infromasi bahwa atribut tempat peribadatan akan di kembalikan