SAMARINDA, LENSABORNEO.ID – Komisi Yudisial (KY) menggelar launching Selasar Opini Yudisial, Sabtu (29/2/2020) di Kafe Cak Turo. Kehadiran Selasar Opini Yudisial ini dimaksudkan sebagai forum diskusi untuk menyerap berbagai informasi dan opini publik dari lembaga dan tokoh-tokoh masyarakat. Pembentukan forum ini juga sebagai media komunikasi antara Komisi Yudisial dengan media massa agar dapat menyampaikan berbagai kegiatan dan informasi tentang pengawasan yang sudah dilaksakan oleh KY.
Sejumlah kalangan hadir dalam forum diskusi yang baru terbentuk tersebut. Hadir Pokja 30, lembaga Ombudsman, PWI Kaltim dan lembaga-lembaga mahasiswa yang memenuhi kafe yang ada di bilangan jalan Juanda tersebut.
Dalam kesempatan itu moderator diskusi yang juga staf ahli KY, Dimas Ronggo Gumilar Prabandaru, SH, M.Si, C.LA Ky menyebutkan pentingnya launching Forum Selasar Opini Yudisial agarKY dapat menyerap berbagai opini public yang muncul dari sejumlah kalangan. Sehingga, KY dapat berbuat yang lebih baik dalam pelaksanaan pengawasan lembaga peradilan.
Tiga pemantik diskusi dihadirkan diantaranya dari PWI kaltim, Intoniswan, yang mengangkat tema Peran Media dalam Memberikan Akses Informasi yang Obyektif dan Faktual kepada Masyarakat dalam Mewujudkan Peradilan yang Bersih dan Berintegritas. Sedangkan ketua Pokja 30, Buyung Marajo, mengangkat tema tentang Urgensi Pengawasan Badan Peradilan dan Advokasi Para Pencari Keadilan dan Berhadapan dengan Hukum. Sementara Koordinator Penghubung Komisi Yudisial Republik Indonesia Wilayah Kalimantan Timur, Dani Bunga, SH, mengambil tema mengenai Peran Komisi Yudisial Penghubung Wilayah Kalimantan Timur dalam Mewujudkan Peradilan yang Bersih dan Berintegritas
Dani memaparkan tentang kehadiran Komisi Yudisial yang telah hadir selama tujuh tahun sejak 2013. Ia menyatakan KY berkomitmen atas Keterbukaan Informasi dalam pelaksanaan tugasnya. Sehingga pihaknya menghadirkan forum ini dan mengundang semua pihak untuk hadir membahas tentang tugas dan peran KY. Ia mengakui banyak permasalahan dalam mencari keadilan, maka itu urgensi media massa agar memberi akses informasi tentang KY.
“Inilah pentingnya media massa bekerjasama dengan KY agar bisa mensosialisasikan berbagai hal yang harus diketahui bagi pencari keadilan. Mafia peradilan itu seperti kentut. Baunya ada tapi fisiknya tak kelihatan. Maka itu, saya mengajak pula mahasiswa untuk ikut bersama-sama mengawasi peradilan. Bisa direkam atau difoto. Kalau ada yg larang itu salah. Kan persidangan itu terbuka,” tegasnya.
Sementara itu Intoniswan lebih menyorot mengenai pentingnya jurnalis kualifikasi. Menurutnya Wartawan itu bisa mendapatkan informasi dari peradilan tapi belum tentu menguasai. Pasalnya, untuk meliput di pengadilan tidak mudah. Tidak bisa dikerjakan terputus. Wartawan sering melenceng dalam membuat berita hukum. Seringnya malah mengambil sisi lain dari peradilan, seharusnya yang dimasukkan dalam berita adalah kontrol sosial. Peraturan liputan di pengadilan tidak diatur oleh Dewan Pers tetapi lebih mengutamakan menggunakan kode etik jurnalistik dan menyesuaikan aturan di pengadilan.
“Berita pengwasan adalahberita luar biasa. Harus paham dan menguasai. Sebenarnya bukan wartawan yang merusak hukum. Wartawan tidak pernah merusak hukum hanya yang punya pengetahuan hukum yg bisa merusak hokum. Orang-orang teknis yang bisa merusaknya,” terangnya.
Buyung Marajo dari Pokja 30 menitikberatkan tentang persepsi masyarakat tentang dunia peradilan yang kerap dianggap momok menakutkan. Menurutnya dunia peradilan selalu dikaitkan dengan kasus. Masyarakat selalu pesimis dan cenderung takut dengan lembaga peradilan. Disebabkan track record peradilan yang ribet, berbelit-belit dan birokratis.
“Jika ada urusan di peradilan semisal mau sidang tentang akte kelahiran saja. Orang pikirnya kasus apa lagi yang sedang kita alami. Padahal hanya mengurusakte saja. Ini persepsi masyarakat terhadap dua lembaga yakni pengadilan dan kepolisian. Dua lembaga ini dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Jangan berurusan dengan kepolisian. Birokrasi berbelit-belit Inilah pengakuan yang sering kita temukan dalam mengadvokasi dan mendampingi laporan masyarakat. Kami banyak menerima laporan terkait pelanggaran kode etik,” papar Buyung.
Penulis : Nur