Lensaborneo,Samarinda—Perayaan seni dari berbagai multidisiplin, baik itu perupa, pematung, desainer, dan arsitek terbaik dari seluruh Indonesia telah digelar di Samarinda, 20-26 September 2019. Bekerjasama dengan managemen BIGMALL Samarinda, Pameran Seni Rupa Kayu Baimbai digelar di Big Mall Samarinda Lantai 3 Utama.
Pameran bertema 100 perupa itu menyuguhkan akar budaya lokal masyarakat Banjar di Kalimantan yakni Kayuh Baimbai yang bermakna bekerja bersama-sama atau bergotong royong.
Dalam Sambutannya, kurator pameran Bambang Asrini Wijanarko mengungkapkan konsep pameran ini berangkat dari kehidupan sosial keseharian masyarakat Banjar yang aktivitasnya banyak dilakukan di sungai, dan merupakan bagian dari laku spiritual selain mendayung bersama sampan itu.
“Ini juga merujuk pada pidato Ir Sukarno pada 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI mengatakan bahwa intisari dari ideologi negara, ialah Pancasila dan Gotong-Royong,” kata kurator pameran Bambang Asrini Wijanarko, dalam sambutannya, Sabtu(21/9).
Ia juga mengatakan tim kurator yang menyeleksi karya seniman pada kegiatan ini juga melibatkan sejumlah tokoh dan tetua adat Kalimantan, baik secara langsung maupun wawancara. Penyeleksian karya seniman dikategorikan dua kelompok, yakni perupa atau seniman individual dan kolektif.
Dijelaskan kembali, Seniman Individual ialah perupa yang merupakan perwakilan cara memproduksi artistiknya sesuai ekspresi seni modern. Yakni, karakternya sealur dengan konsep individualisme, seperti sebuah artikulasi bahasa artistik yang sangat personal dengan metoda berkarya melalui pola-pola dengan tata cara sangat eksklusif dan otonom.
Sementara itu perupa kolektif ialah seniman yang dipengaruhi sifat dan karakter ekspresi seni kontemporer yang terbuka, mencair (tidak ekslusif dan meredusir sifat sangat personal) dan merespons kultur lokal yang mengglobal.
Acara tahunan yang dihelat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Kesenian Republik Indonesia ini, dibagi dalam tiga zonasi Kalimantan yakni Zona pertama, Kosmopolitanisme, Zona kedua, adalah Ekspresi Seni Islam, Zona Ketiga, adalah Peradaban Tua Kalimantan.
Ia membeberkan untuk Zona pertama Kosmopolitanisme, merupakan sebuah masyarakat yang inklusif dan daerah yang maju, baik pada peradaban masa lalu dan kini. Sebuah konsep sosiologis, di mana orang-orang kosmopolit akan menerima keberbedaan nilai-nilai yang beragam dan membangunnya dalam visi cita-cita bersama demi kemajuan.
“Dengan demikian, seniman-seniman dan pekerja kreatif ditantang menampilkan karya-karya terbaiknya yang sejalan dengan masyarakat maju yang menjunjung nilai-nilai kosmopolit,” kata Bambang.
Zona kedua, adalah Ekspresi Seni Islam. Keyakinan dan budaya tentang Islam telah ratusan tahun mendarang-daging di masyarakat Kalimantan.
“Konsep tentang gotong-royong atau Kayuh Baimbai yang terintegrasi dalam budaya Islam sudah wajar diterima. Semenjak awal, sebelum negara modern Indonesia terbentuk, budaya-budaya yang terpuncak dalam seni Islam telah memberi hibriditas corak seni Islam di Kalimantan. Bahkan Kesultanan Kutai Taruma Negara di Kalimantan Timur (Sultan Muhammad Sulaiman pada abad ke-19) telah terkoneksi erat dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Malaka (Malaysia),” Sambungnya.
Zona Ketiga, adalah Peradaban Tua Kalimantan. Disebutkan juga, Tema Kayuh Baimbai akan mengingatkan, istilah gotong royong telah dikenal bahkan hampir lebih dari seribu tahun.
“Bisa dilihat pada Kerajaan Besar dalam peradaban kuno warga masyarakat di Kalimantan dengan Kerajaan Kutai Martadipura yang berlokasi di Muara Anam, hulu Sungai Mahakam di Kalimantan Timur yang telah eksis sekitar abad ke-4,” Jelasnya.
Kutai Kuno ini, yang bercorak keyakinan Hindu, dengan jejak keemasannya dipimpin Raja Mulawarman, sampai abad ke-20, yakni para pewarisnya dengan Kerajaan yang telah memeluk Islam mengalami akulturasi setahap demi setahap. Jejak-jejaknya dapat ditemukan pada ekspresi-ekspresi seni di Kutai Kertanegara, Tenggarong dan artefak- artefak di Museum Mulawarman.
Peradaban Kuno ini, pengaruh Hinduisme dan Budhisme sangat kuat berakar sampai sekarang (abad 21). Selain itu, keyakinan-keyakinan lokal lainnya, semacam ekspresi –ekspresi keyakinan Animisme dan Dinamisme sudah selayaknya ditampilkan di masyarakat Kalimantan yang lebih minoritas (ekspresi budaya dengan keyakinan etnik kharingan dll).
Penulis : Ony
Editor : Yusuf