Redaksi: 02
Reporter: Samuel
Lensaborneo.id — Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Deteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Intelektual pada Minggu, (3/1/2021).
Peraturan yang diteken Jokowi pada 7 Desember 2020 tersebut. Disebut diteken dalam rangka memberikan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat.
Namun, disahkannya PP tersebut menimbulkan pro dan kontra bagi sebagian orang. 3 LSM dan 1 institusi akademi nasional yakni Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MaPPI), Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mengatakan bahwa PP tersebut mengabaikan hak asasi pelaku dan belum terbukti efektif dalam menekan angka kekerasan seksual.
“Kebiri kimia belum terbukti menekan angka kekerasan seksual, dan hukuman kebiri tidak menyasar akar permasalahan terhadap anak,” ucap ICJR dalam kajian Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) bagi Pelaku Kejahatan Seksuan Anak di Indonesia pada Februari 2016.
Ketua ICJR Erasmus A.T Napitupulu, menilai bahwa aturan perlindungan korban lebih penting daripada PP ini. Sebab, pemerintah belum memiliki peraturan komperhensif terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
“Aturan pemulihan korban kekerasan seksual tersebar dan berbeda-berbeda. Perlu ada satu UU baru yang dapat merangkum dan menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban (RP2K) atau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS),” ucapnya seperti yang dilansir Narasi Newsroom, 4 Januari 2021
Menanggapi polemik PP Kebiri tersebut di Kaltim. Anggota DPRD Provinsi Kaltim Verdiana Huraq Huang menganggap bahwa upaya pemerintah pusat terhadap hal tersebut sudah benar.
Bagi Veri panggilan akrabnya, pelaku kekerasan seksual perlu ditindak untuk memberikan berikan efek jera. Pendapat bahwa PP tersebut dirasa bagi sebagian orang tidak humanis kontradiktif terhadap tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang tidak berkemanusiaan.
Anggota legislatif perempuan Daerah Pilihan (Dapil) Kutai Barat (Kubar) tersebut mengatakan sudah saatnya pelaku kekerasan seksual ditindak dengan keras.
“Kalau melihat yang mereka lakukan kepada anak kan sudah tidak manusiawi sekali, kalau mereka (pelaku) kan enak aja saat melakukan, tapi korbannya menanggung penderitaan yang luar biasa,” ucap Veri saat diwawancarai lewat telepon, Rabu (6/1/2021).
Senada dengan Veri, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Ely Hartati Rasyid mengatakan bahwa PP tersebut harus disahkan mengingat meningkatnya kondisi kekerasan seksual di Indonesia.
Terkait minimnya akar permasalahan atau minimnya kepastian perlindungan hukum bagi korban. Ely menggangap bahwa kekerasan seksual tidak hanya datang dari kepastian hukum saja, namun dari banyak aspek.
Salah satunya menurut Elly, adalah fungsi keluarga sebagai benteng terdepan yang bertanggung jawab atas kemananan dan edukasi anak.
“Kita (DPRD) lagi berencana menginisiasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) ketahanan keluarga, ini sangat penting (sebagai dasar) seberapa jauh intervensi pemerintah ke dalam keluarga,” pungkas Politisi PDI Perjuangan tersebut.
Sebagai tambahan, PP No. 70 Tahun 2020 tersebut juga mengatur mengenai pemasangan chip atau alat pelacak bagi pelaku kekerasan seksual kepada anak.
Peraturan turunan Perppu No. 1 Tahun 2016 tentang perlindungan anak tersebut juga mengatur pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Yang dilakukan setelah pelaku selesai menjalani pidana pokok.