Samarinda,Lensaborneo.id—Mahkamah konstitusi telah mengeluarkan putusan atas permohonan uji formal terhadap Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan istilah Omnibus Law. Hal ini di jelaskan kembali oleh Nason Nadeak, SH., M.H yang merupakan Praktisi Hukum dan Akademisi di Kaltim melalui rilisya kepada media ini,Sabtu (27/11/2021).
Dalam Putusannya No. 91/PPU-XVIII/2020, tanggal 25 Nopember 2021, Menyatakan Permononan Provisi Pemohon I dan Pemohon II, tidak dapat diterima, kedua Menolak Permohonan Provisi Permohonan III, Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI.
Dimana dalam Pokok Permohonan satu menyatakan bahwa permohonan Pemohon I dan Pemohon II, tidak dapat diterima, dua mengabulkan Permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI, untuk sebagaian, tiga menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020, tentang cipta kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dikatakan Nason bahwa hal inI tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “ Tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan,” Ucapanya.
Dijelaskan UU no 11tahun 2020, tentang cipta kerja, masih tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
Juga memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka UU No.11 tahun 2020, tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Dan apabila dalam kurun waktu 2 (dua) tahun pembentuk Undang-Undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang No. 11 tahun 2020, tentang Cipta kerja, maka Undang-Undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-Undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11tahun 2020, tentang cipta kerja, dinyatakan berlaku kembali .
Kata Nason, yang juga merupakan ketua DPP SBSI untuk menangguhkan segala tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020, tentang Cipta Kerja .
Menurut Nason putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PPU-XVIII/2020, tanggal 25 Nopember 2021, merupakan, “ malapetaka “, bagi dunia hukum dan bagi masyarakat, khususnya bagi buruh Indonesia, sebab melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi telah menunjukkan kegagalannya sebagai Guardian of Constitution.
Bagimana mungkin Undang-Undang No. 11 tahun 2020, yang oleh Mahkamah Konstitusi sudah mengakui pembentukannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, namun tetap dinyatakan berlaku selama 2 (dua) tahun.
Padahal menurut teori hukum, apabila sebuah produk hukum dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya produk hukum tersebut harus dinyatakan tidak berlaku atau tidak sah, sehingga maksud dan tujuan diberikannya hak kepada masyarakat untuk mengajukan permohonan uji formal terhadap Undang-Undang, tidak menjadi useless atau tidak berguna.
Ia menilai putusan Mahkamah Konstitusi juga terlihat dari adanya tenggang waktu 2 (dua) tahun kepada Pemerintah untuk memperbaiki.
Dikatakannya lagi, apabila dalam pembentukan sebuah Undang-Undang terdapat cacat formal, maka jalan-satu-satunya untuk memberlakukan Undang-Undang tersebut, harus ditempuh melalui proses pembuatan Undang-Undang yang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yakni diproses melalui proses perencanaan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan walaupun menggunakan bahan baku yang sudah ada.
Oleh karenanya, dengan adanya pemberian tenggang waktu 2 (dua) tahun kepada pembentuk Undang- 3 Undang untuk memperbaiki prosedur formal dari Undang-Undang No. 11 tahun 2020, dapat menimbulkan persepsi, bahwa inisiatif pembuatan undang-Undang dapat juga berasal dari Mahkamah Konstitusi padahal Inisiatif untuk mengajukan pembuatan Undang-Undang tersebut hanya berasal dari DPR, Presiden dan DPD.
Dampak lain dari Putusan Mahkamah Konstitusi ini di nilai akan sangat merugikan masyarakat Khususnya kaum buruh, sebab dengan adanya larangan bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 11 tahun 2020, maka hak-hak buruh atau masyarakat yang timbul dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2020 belum terurai secara jelas.
Sehingga harus membutuhkan aturan pelaksananya, akan terkendala, sehingga hak tersebut hanya tertuang secara tertulis tetapi tidak dapat diimplementasikan.
Nason yang merupakan sala satu pengacara inipun berpendapat, Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang tidak membawa dampak baik bagi buruh atau masyarakat, bahkan sangat merugikan.
Sebab walaupun Mahkamah Konstitusi mengatakan Pembentukan Undang-Undang No. 11 tahun 2020 adalah cacat, karena melangar Undang-Undang Dasar 1945, namun karena undang-Undang No. 11 tahun 2020 ini tetap dinyatakan berlaku, maka Putusan Mahkamah Konsitusi hanya merupakan Lip service saja. Se
Sumber : Praktisi Hukum dan Akademisi Nason Nadeak, SH., M.H
Editor : Redaksi 02