Samarinda,Lensaborneo.com – Rencana besar Pemerintah Kota Samarinda untuk menata kawasan kumuh menuai sorotan tajam dari DPRD. Meski digadang-gadang sebagai solusi perbaikan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat, proyek ini dinilai belum menyentuh aspek paling mendasar: partisipasi aktif warga terdampak.
Ketua Komisi III DPRD Samarinda, Deni Hakim Anwar, mengkritik pendekatan pemerintah yang terlalu fokus pada sisi teknis dan target fisik, namun abai terhadap keterlibatan warga sejak awal. Padahal, ia menilai keberhasilan penataan kawasan kumuh tak bisa dilepaskan dari kesepakatan dan dukungan masyarakat itu sendiri.
“Jangan bangun dulu, baru ajak warga bicara. Seharusnya partisipasi masyarakat menjadi pintu masuk perencanaan, bukan pelengkap belakangan,” tegas Deni, belum lama ini.
Ia menyebutkan bahwa banyak warga di kawasan sasaran belum mendapat kepastian tentang status tempat tinggal mereka. Bahkan, beberapa di antaranya hanya mengetahui proyek penataan ini dari kabar yang simpang siur. Tidak ada skema ganti rugi yang jelas, tidak ada jaminan relokasi, dan tidak semua memahami manfaat jangka panjang dari program ini.
“Kalau masyarakat belum siap, belum sepakat, jangan dipaksakan. Bisa gagal di tengah jalan,” lanjutnya.
Penataan kawasan kumuh di Samarinda bukan program mendadak. Pemerintah sudah menyusunnya dalam dokumen perencanaan sejak beberapa tahun lalu. Namun hingga pertengahan 2025, program ini masih sebatas dokumen dan pemetaan. Belum menyentuh pelaksanaan konkret di lapangan.
Menurut Deni, pelaksanaan tahun ini baru menyasar sekitar 7 hektare dari total 75 hektare kawasan kumuh, di kota. Itu pun terbatas pada area yang berada dalam radius 10 meter dari jalan utama, karena keterbatasan anggaran dan kemampuan teknis.
“Artinya, ruang gerak pemerintah masih terbatas. Tapi lebih dari itu, masalah utamanya adalah belum adanya kejelasan komunikasi ke warga,” ungkap Deni.
Ia juga menyoroti kecenderungan pemerintah yang terlalu menekankan pencapaian target fisik sebagai indikator keberhasilan, sementara sisi sosial justru belum tersentuh maksimal.
“Kita tidak sedang menata jalan atau drainase. Ini soal hunian, soal psikologis masyarakat. Harus ditangani dengan empati dan keterbukaan,” katanya.
Minimnya pendekatan partisipatif dalam proyek penataan kawasan kumuh berpotensi menimbulkan konflik sosial. Deni menilai, tanpa ruang dialog yang memadai, warga akan cenderung menolak, bahkan menentang proses pelaksanaan di lapangan.
Padahal, pendekatan bottom-up atau perencanaan berbasis aspirasi warga sudah menjadi prinsip dalam tata kelola pembangunan modern. Sayangnya, pendekatan ini masih belum terlihat nyata dalam program Pemkot Samarinda tersebut.
“Pemerintah harus belajar dari pengalaman kota-kota lain. Warga bukan sekadar penerima dampak, tapi harus dilibatkan sejak awal dalam proses desain dan perencanaan,” tegas Deni.
Ia menambahkan, bila pendekatan sosial terus diabaikan, program ini bisa stagnan di tahap awal saja. Pemerintah akan menghadapi resistensi yang berulang, dan anggaran yang digelontorkan pun tidak akan menghasilkan dampak yang optimal. (Liz/adv)







Users Today : 995
Users Yesterday : 945
Total Users : 977626
Total views : 5331383
Who's Online : 20