SAMARINDA – Di tengah pesatnya pembangunan infrastruktur di Kota Samarinda, persoalan lama soal permukiman kumuh masih membayangi wajah kota. Tak hanya di wilayah pinggiran, kawasan tidak layak huni juga ditemukan di pusat-pusat aktivitas seperti Samarinda Kota dan Samarinda Ilir.
Masalah ini menjadi sorotan serius dari DPRD Kota Samarinda. Anggota Komisi III, Maswedi menegaskan, selama kawasan kumuh masih dibiarkan, dampak pembangunan tak akan sepenuhnya dirasakan masyarakat.
“Pembangunan jangan hanya diukur dari megahnya gedung atau jalan baru. Jika masih ada warga yang tinggal di lingkungan sempit, kotor, dan rawan bencana, artinya pembangunan belum menjawab kebutuhan dasar mereka,” Ungkapnya
Ia menilai, lingkungan yang padat dan tidak tertata tidak hanya mengganggu estetika kota, tetapi juga membawa risiko kesehatan dan keselamatan bagi warga. Oleh karena itu, penataan kawasan kumuh harus menjadi prioritas dalam perencanaan pembangunan ke depan.
Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah merelokasi warga yang tinggal di bantaran sungai. Selain memperbaiki kualitas hidup mereka, langkah ini juga penting untuk memulihkan fungsi sungai sebagai ruang terbuka hijau dan bagian dari ekosistem kota.
Maswedi menyebut bahwa persoalan permukiman kumuh adalah masalah keadilan sosial. Ketika akses terhadap lingkungan bersih, aman, dan layak hanya dinikmati sebagian masyarakat, maka ketimpangan makin nyata.
“Revitalisasi kawasan kumuh itu bukan opsi, tapi keharusan. Pemerintah harus berani menjadikannya prioritas anggaran di tahun 2026. Tanpa itu, pembangunan kita akan terus timpang,” jelasnya
Untuk mendukung langkah tersebut, Ia mendorong adanya kolaborasi yang lebih erat antara Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) dan Dinas PUPR.(Viva/or/adv)