
Lensaborneo.id, Samarinda – 2 orang remaja belia kakak beradik, sebut saja Mawar dan Melati terpaksa hidup tanpa perhatian kedua orangtuanya. Walaupun tercatat sebagai pelajar, namun karena keterbatasan perangkat belajar daring, waktu merekapun lebih banyak dihabiskan untuk bermain.
Bukannya tak ingin belajar online, Mawar dan Melati memang tidak memiliki perangkat HP berbasis Android untuk mendukung sarana belajarnya. Karena, jangankan membeli HP, pulsa dan kuota internet, untuk makan sehari-hari saja sulit. Keduanya bahkan acap kali “berpuasa” menahan lapar, lantaran tidak memiliki uang.
Mawar dan Melati hidup bersama ayahnya, di sebuah rumah sewaan kecil yang berada di Perumahan Samarinda Hill Jalan Rapak Dalam, Samarinda Seberang, / bulannya Rp 300 ribu, dengan kondisi yang kurang layak. Padahal rumah yang mereka tempati dikelilingi oleh rumah-rumah elite.
Sehari-hari, ayah Mawar dan Melati bekerja sebagai buruh bangunan. Sedangkan ibu mereka, sudah sejak lama pergi, meninggalkan mereka ke Pulau Jawa dan telah menikah lagi.
Ketua TRC PA Kaltim, ( Tim reaksi cepat perlindungan Perempuan dan Anak ), Rina Zainun mengatakan, pihaknya menerima laporan dari warga terkait kondisi kehidupan Mawar dan Melati. Berbekal informasi yang diterima, TRC PA Kaltim turun langsung melakukan pengecekan ke rumah yang ditinggali Mawar dan Melati.
“Kebetulan ada seorang lansia yang rumahnya persis bersebelahan dengan anak-anak itu. Kami dapat laporan, katanya anak ini kondisinya begitu. Dan kita juga sudah kroscek, bagaimana keadaannya. Sangat miris, rencana kami hari ini akan datang lagi ke sana untuk melihat perkembangan anak-anak itu. Kemarin sudah kami berikan makanan siap saji dan sembako,” ucapnya pada media ini.
Dikatakannya, Mawar adalah pelajar SLTP sedangkan adiknya, Melati masih duduk di bangku kelas 5 SD. Namun sejak pandemi COVID-19, pemerintah menetapkan sekolah dilakukan via daring, semakin menyulitkan Mawar dan Melati lantaran keduanya memang tidak memiliki perangkat HP berbasis Android.
“Anak itu sekolah masih SMP kakaknya, adiknya kelas 5 SD, tapi karena daring jadi tidak ada aktivitas,” katanya.
Rina juga mengisahkan bahwa, setiap harinya Mawar dan Melati selalu ditinggal bekerja sang ayah sejak pagi hingga malam hari. Biasanya, setiap pagi sebelum ayah mereka berangkat kerja, keduanya diberikan uang Rp 5 ribu untuk makan. Namun tak jarang, perut mereka lebih banyak menahan lapar. Karena uang yang diberikan sang ayah tak cukup untuk membeli nasi.
Di tempat tinggalnya, anak ayah ini juga biasa melakukan aktivitas di rumah hanya dengan satu ruangan, mulai tidur, memasak dan sebagainya. Bahkan kondisi dalam rumah terlihat berantakan dan kotor.

Dari keterangan anak-anak ini, mereka di kasih uang ayahnya Rp 5 ribu untuk makan, malamnya ketika ayahnya pulang kerja, batu dibawakan makanan. Sudah lama mereka sewa rumah itu, Rp 300 ribu per bulannya. Itu kondisi barang menumpuk dan tidak layak untuk mereka tinggali. Mirisnya, rumah mereka ini berada di Antara rumah mewah,” beber Rina.
Menurutnya, tidak ada yang bisa mengontrol perkembangan Mawar dan Melati saat ini. Padahal, keduanya adalah pelajar yang masih harus banyak beraktivitas mengerjakan pelajaran, walaupun kondisi belajar masih daring.
Untuk itu dirinya berharap, pemerintah melalui instansi terkait dapat memberikan perhatian kepada Mawar dan Melati, khususnya dalam hal sekolahnya.
“Anak ini dari pagi sampai sore kerjanya (main, red) di luar rumah. Tidak ada yang mengontrol perkembangan mereka, termasuk ayahnya. Harapan kami, bagaimanapun berdasarkan Undang-undang, anak terlantar dilindungi. Kalau bisa ada tindakan dari pihak berwenang, untuk menangani anak ini. Kasian, di saat mereka harus dapat perhatian tapi tidak mereka dapatkan. Jadi bagaimana upaya pemerintah mengakomodir kepentingan anak ini,” imbuhnya.
Penulis : URP
Editor : Ony