Samarinda,Lensaborneo.com – Lonjakan volume sampah di Kota Samarinda telah mencapai titik mengkhawatirkan. Data terbaru mencatat, sepanjang 2024 timbunan sampah di kota ini menembus angka 225 ribu ton, atau rata-rata 615 ton per hari. Namun di tengah ledakan sampah tersebut, kebijakan dan program penanganannya justru terkesan tak seiring jalan.
Anggota Komisi III DPRD Samarinda, M. Andriansyah, menilai akar persoalan bukan semata soal volume, tapi karena sistem pengelolaan sampah yang belum terintegrasi dengan baik. Ia menyebut, pemerintah masih terlalu bergantung pada inisiatif segelintir komunitas, tanpa membangun kerangka partisipasi massal dan sistemik dari seluruh elemen masyarakat.
“Masalahnya bukan hanya pada tumpukan sampah. Tapi pada sistem yang belum berjalan. Kalau masih mengandalkan komunitas-komunitas kecil, kapan kita bisa tangani 600 ton sampah per hari?” kritiknya.
Andriansyah menyoroti bahwa selama ini upaya pemerintah cenderung fokus pada hilir, yakni pembersihan atau pengangkutan, tanpa menyentuh perubahan di hulu, yakni kebiasaan dan perilaku masyarakat dalam menghasilkan dan mengelola sampah.
“Kuncinya itu di rumah tangga. Kalau sejak dari rumah orang masih campur semua jenis sampah, TPS dan bank sampah akan selalu kewalahan,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa edukasi dan sosialisasi harus dimulai dari lingkungan terkecil, dan tidak bisa sekadar bersifat seremonial. Kesadaran masyarakat perlu dibangun lewat pendekatan kultural yang konsisten, bukan sekadar menunggu sanksi diterapkan.
“Kesadaran itu tidak bisa dibentuk hanya dengan ancaman. Tapi juga lewat contoh, pendampingan, dan konsistensi program,” tambahnya.
Salah satu sorotan tajam Andriansyah adalah soal layanan jemput sampah dari rumah, yang sempat digulirkan Pemkot, namun saat ini tidak terdengar kelanjutannya. Menurutnya, ini menunjukkan lemahnya keberlanjutan program di tengah persoalan yang justru makin kompleks.
“Kita ini jangan hanya pintar bikin konsep. Tapi harus konsisten jalankan. Kalau layanan seperti itu berhenti tanpa kejelasan, masyarakat jadi bingung dan kembali ke pola lama: buang sampah sembarangan,” ujarnya dengan nada kecewa.
Ia pun menegaskan pentingnya evaluasi dan penguatan kebijakan, termasuk dari sisi regulasi. DPRD, kata Andriansyah, saat ini tengah membahas peraturan yang mengatur soal larangan dan sanksi terhadap perilaku membuang sampah sembarangan. Namun, ia tidak ingin regulasi itu hadir tanpa kesiapan warga.
“Jangan tiba-tiba bikin sanksi tanpa menyiapkan masyarakat dulu. Itu bisa jadi blunder. Regulasi itu harus datang setelah budaya sadar sampah terbentuk,” tegasnya.
Andriansyah menutup dengan pesan bahwa solusi persoalan sampah tidak akan lahir dari satu pihak saja. Butuh sinergi nyata antara pemerintah, legislatif, dunia usaha, organisasi sosial, dan masyarakat itu sendiri.
“Persoalan ini tidak bisa diselesaikan oleh DLH saja, atau oleh komunitas saja. Ini soal kesadaran kota. Kalau semua merasa punya tanggung jawab, baru bisa berubah,” pungkasnya. (Liz/adv)