Lombok,Lensaborneo.com – Bank Indonesia Perwakilan Kaltim turut berkontribusi dalam mempromosikan kerajinan ini melalui program Capacity Building (CB) bagi wartawan ekonomi. Kegiatan selama tiga hari pada 4-6 Desember 2024 ini memberikan pengalaman langsung kepada wartawan untuk melihat proses produksi gerabah di Desa Banyumulek.
Desa Banyumulek di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat, menjadi pusat kerajinan gerabah khas Lombok yang kini dikenal hingga mancanegara.
Salah satu pelopornya adalah UD Berkat Sabar, usaha keluarga yang berhasil mempertahankan tradisi dan meningkatkan kualitas, hingga mampu menembus pasar internasional dengan omset mencapai Rp 50 juta per ekspor.

Gerabah Banyumulek merupakan warisan budaya yang diproduksi secara turun-temurun sejak tahun 1993. Haeniatun (43), pemilik UD Berkat Sabar, menjelaskan bahwa usaha ini awalnya dirintis oleh orang tuanya dengan toko kecil berukuran 4×6 meter.
Kini, toko tersebut telah berkembang menjadi showroom seluas 11×25 meter yang memajang berbagai macam gerabah dengan desain unik.
Salah satu produk unggulan adalah kendi maling, teko tanah liat yang unik karena pengisian airnya dilakukan dari bawah. Produk ini menjadi favorit wisatawan lokal maupun internasional.
“Kendi maling ini punya nilai historis yang menarik. Selain unik, air yang disimpan di dalamnya juga terasa lebih segar,” ujar Haeniatun.
Selain kendi maling, UD Berkat Sabar juga memproduksi guci, lapik gelas, dan bakul nasi dengan harga bervariasi, mulai dari Rp10 ribu hingga Rp4 juta per buah.
Keunggulan gerabah Banyumulek terletak pada proses pembuatannya yang masih menggunakan metode tradisional. Tanah liat berkualitas didatangkan dari Gunung Sasak di Lombok Selatan, yang terkenal lebih kuat dibanding tanah liat dari daerah lain.
Tahapan produksi meliputi:
Pembentukan: Tanah liat dibentuk dengan tangan dan meja putar.
Pembuatan Motif: Permukaan gerabah dihias menggunakan pisau pahat atau lidi.
Pengeringan: Gerabah diangin-anginkan hingga setengah kering.
Pembakaran: Produk akhirnya dibakar dalam tungku berisi sekam padi.
Proses sederhana ini menghasilkan gerabah yang tidak hanya indah, tetapi juga tahan lama dan ramah lingkungan.
UD Berkat Sabar berhasil memasarkan produknya ke berbagai negara seperti Australia, Jerman, Italia, dan Belanda. Sebelum pandemi, ekspor dilakukan setiap tiga bulan sekali. Kini, frekuensinya menjadi enam bulan sekali karena penurunan permintaan.
“Sebelum pandemi, omset kami bisa mencapai Rp50 juta per ekspor. Saat ini, ekspor besar dilakukan setiap enam bulan sekali,” ujar Haeniatun.
Desa ini memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata edukasi. Selain membeli gerabah, wisatawan dapat melihat langsung proses pembuatannya, dari pengolahan tanah liat hingga pembakaran dalam tungku tradisional.
Di ketahui UD Berkat Sabar mempekerjakan 30 pengrajin lokal, memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat sekitar. Produk gerabah ini tidak hanya menjadi sumber penghasilan, tetapi juga alat untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke kancah internasional. (adv/En)