Samarinda,Lensaborneo.com-Disdikbud kini tengah menyusun berbagai langkah agar mulai tahun 2025 siswa SD dan SMP di Samarinda tidak perlu lagi membeli buku di sekolah.
Guru dan komite digerakkan, hingga upaya transparansi anggaran. Masalah praktik jual beli buku di lingkungan sekolah di Kota Samarinda belum lama ini ramai diperbincangkan.
Isu tahunan ini kembali ramai setelah sejumlah ibu-ibu melakukan aksi di kantor pemerintahan. Sebab meski jual beli buku di lingkungan sekolah sudah dilarang, namun praktiknya tak sepenuhnya hilang.
Malah selalu muncul setiap tahun ajaran baru, padahal sekolah negeri. Harganya yang berkisar Rp600 ribu-Rp1,5 juta menjadi keluhan.
Secara aturan, larangan jual beli buku itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 pada Pasal 181 yang terdiri atas 4 butir. Tertuang dalam butir a dan d yang berbunyi: Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:
- Menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; d. melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pada praktiknya, jual beli buku yang terjadi, biasanya berupa buku penunjang. Yang dititipkan dari pihak ke tiga alias penerbit yang menjual buku. Namun keberadaannya menjadi dilema tersendiri.
Sebab, meski tak dipaksakan, namun jika tidak membeli, anak menjadi kesulitan dalam kegiatan belajar di kelas. Bisa tertinggal karena tidak memiliki buku, hingga kesulitan menyamai temannya yang membeli buku.
Pemkot Cari Solusi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Samarinda, Asli Nuryadin mengaku setelah isu ini ramai, dirinya langsung meminta semua guru untuk tidak membahas buku penunjang. Fokus pada buku wajib saja.
Sembari pihak Pemkot Samarinda juga tengah melakukan penelusuran terkait praktik jual beli buku di sekolah itu. Apakah benar terjadi pemaksaan hingga intimidasi terhadap siswa.
“Saya bilang setop, tidak ada lagi istilah jual beli buku, tidak ada intimidasi, tidak ada perundungan. Saya nggak mau dengar lagi,” Tegas Asli Nuryadin
Tapi kalau ortu mau beli di luar, di Gramedia, ya saya kan nggak bisa larang. Tapi di sekolah itu setop,” sambungnya. Selain itu Asli juga tengah menyusun upaya lanjutan dari Wali Kota Samarinda, untuk memastikan praktik jual beli buku tidak lagi terjadi di Kota Tepian.
Setidaknya mulai tahun depan 2025 dan seterusnya. Mencetak Buku Sendiri Terkait 3 dari 4 opsi yang sebelumnya dikatakan oleh wali kota, pihaknya masih menunggu keputusan TAPD.
Sebab masih menyesuaikan dengan kemampuan anggaran pemerintah kota. Sementara untuk opsi mencetak buku sendiri, Asli tengah mematangkan teknisnya.
Asli merencanakan buku-buku penunjang disusun sendiri oleh guru-guru di sekolah. “Kalau itu disusun guru kita, itu berarti menjadi hak Pemkot, Kita tinggal mencetak, itu bisa free aja, nggak ada lagi cerita jual beli buku. Insyaallah. Karena semuanya sedang kita siapkan.” Lanjut Asli,
Hal tersebut termasuk juga memanfaatkan bahan ajar, baik itu video maupun modul yang terdapat di platform Merdeka Belajar. Namun belum bisa direalisasikan pada tahun ini, sebab butuh penyesuaian terlebih dahulu.
“Jadi kalau punya mata pelajaran 10, berarti ada 30 orang satu kelas. Kalau dia 3 kelas, 30×3 berarti 90 orang yang menyusun buku penunjang itu.” Beber Asli.
Buku penunjang yang disusun guru di Samarinda itu akan dimasukkan juga literasi yang memuat nilai-nilai kearifan lokal yang berkaitan dengan kehidupan di Kota Samarinda itu sendiri. Misalnya, selain memasukkan pola hidup bersih dan sehat, lalu pendidikan anti korupsi, juga memasukkan kekhasan Samarinda dan Kaltim.
Seperti literasi tentang Desa Budaya Pampang atau entang sejarah di Kaltim, pokoknya sesuati yang dekat. “Tapi itu masih saya usulkan. Nanti biar tim TAPD, dan tentu itu jauh lebih efisien. Dan kalau itu terjadi, saya kira belum ada pemda yang menyusun seperti itu sampai saat ini,” tambahnya.
Komite Sekolah Digerakkan Menurut Asli, selama ini fungsi komite masih kurang maksimal dan kurang dipahami masyarakat. Ditambah, pertemuan dengan komite sekolah sangat jarang dilakukan.
Komite biasanya baru diperlukan ketika membutuhkan anggaran untuk perpisahan dan kebutuhan uang gedung.
Asli juga menegaskan akan merutinkan pertemuan dengan komite sekolah. Sebab menurutnya komite seharusnya membantu sekolah berpikir untuk memperoleh dana dari pihak ketiga.
“Mencari yang memang tidak didanai pemerintah, maka komite bisa bekerja sama dengan usaha dan dunia industri. Ke perusahaan secara profesional,” kata Asli.
Ditambahkan Asli bahwa Sekolah wajib melakukan pertemuan rutin, dengan Komite minimla 2 kali setahun.
Sekolah Harus Berani Transparan Upaya lain untuk menghindari gelombang protes terkait anggaran sekolah, Memajang uang masuk dan uang keluar di lingkungan sekolah agar terlihat publik.
“Saya sudah lama mengingatkan, karena transparansi itu kebaikan kita juga. Misal uang Rp 800 juta, untuk gaji sekian, perbaikan paving sekian, kita juga akan memberikan edukasi tentang dana BOSnas,Jelasnya.
Asli juga menegaskan bahwa Sekolah harus berani,“ Sekolah Harus berani , masa kita kalah dengan pengurus masjid. buat aja matriks ga usah detil banget tapi secara umum. Jadi masyarakat tau,” bebernya.(Advetorial )